Jika aku bertemu Tuhan, maka yang pertama kulakukan adalah memprotesNya. MenyalahkanNya. MenggugatNya. Aku kecewa karena doaku puluhan tahun lalu Ia kabulkan. Aku sungguh terluka. Karena saat itu aku tak sungguh-sungguh berdoa. Aku tak serius. Hanya bercanda. Seperti kata penyair yang tegak berteriak. Seakan suaranya membelah langit. Meluluh-lantak bumi.
"Aku bergurau dengan Tuhan ketika malam menjadi kelam. Ketika hujan turun dari langit seperti kaki-kaki merpati yang bermain di seng rumah. Ketika halilintar menyambar lalu cicak di pohon kelapa gemetar. Ketika sepi mencekam lalu aku mulai berpikir bunuh diri. Tuhan menuntunku mandi ke kali, bermain air yang keruh karena hujan belum reda sejak pagi dan aku menjadi lupa bunuh diri."
Aku kecewa karena cita-citaku menjadi penyair Ia kabulkan. Apa enaknya jadi penyair? Dan sialnya ini menjadi semacam garis takdir yang tak mungkin kutolak. Tak bisa kusiasati. Ideku seakan mati.
Puluhan perempuan menolak cintaku karena kebetulan aku penyair. Mereka tahu karena sering melihat namaku muncul di koran hari Minggu dan beberapa buku antologi puisi. Mereka membaca puisi-puisiku seakan membaca alur hidupku sendiri. Mereka kemudian sepakat mengatakan aku tukang gombal. Tukang tipu. Pembohong. Bahkan lebih dari itu, mereka menuduh pekerjaanku hanya menghayal belaka.
"Apa yang bisa kuandalkan darimu. Cinta tidak butuh puisi. Cinta tak memerlukan hayalan. Apa bisa kenyang dengan puisi?"
Siapa tidak kecewa disemprot seperti itu. Siapa tidak jengkel diremehkan seperti tai keledai yang bikin sengak jalanan. Tapi, apa benar aku hanya berhayal? Tidak! Aku tidak berhayal. Aku hanya bermimpi. Lalu apa bedanya hayal dan mimpi? Entahlah!
Menjadi penyair layaknya sebuah kutukan bagiku. Cita-citaku waktu kecil menjadi presiden. Tapi ketika kulihat presiden di negeriku tidak ada yang becus dan sunguh-sungguh serius mengurusi bangsa, aku jadi takut. Aku tak lagi bercita-cita menjadi presiden. Aku tak mau menjadi seonggok daging yang dicaci-maki karena gagal memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Apalagi jika kelak setelah aku menjabat, negeriku diliputi malapetaka karena hartanya kucuri, kukorupsi, kumakan sendiri, tentunya dengan mengeluarkan berbagai macam proposal fiksi. Maka cita-citaku kuubah menjadi pilot.
Aku sering membayangkan terbang ke mana-mana. Melihat dunia dari kaki langit. Jalan-jalan ke Eropa dan Amerika. Menunaikan ibadah haji ke Mekah setiap tahun. Atau sesekali mampir di Taj Mahal, tembok raksasa di Cina, bahkan ke Casablanca, sebuah kota di benua Afrika yang membuatku berdecak kagum karena nama itu menjadi nama parfum kesukaanku. Tentu enak bukan? Apalagi itu semua kulakukan gratis. Cuma-cuma!
Tapi cita-citaku menjadi pilot kugagalkan. Aku ngeri melihat belakangan ini di negeriku pesawat berjatuhan seperti daun di musim gugur. Ada yang hilang tanpa ketahuan rimbanya. Ada yang gagal take off karena mesin rusak parah. Bahkan ada yang jungkir balik ketika landing. Roda pesawat copot karena baut lupa dipasang. Belum lagi anganku jalan-jalan ke Eropa terancam gagal. Pesawat dari negeriku tidak diperkenankan terbang ke sana karena alasan keselamatan. Orang-orang Eropa tidak mau ambil risiko jika suatu saat hal-hal yang sangat ngeri terjadi. Misalnya saja, pesawat dari negeriku jatuh di kota Paris atau London karena mesin tiba-tiba mati.
Begitu juga keinginanku beribadah haji tiap tahun. Arab Saudi, sahabat terbaik negeriku, tiba-tiba berubah. Aku tak mengerti mengapa dia ikut-ikutan mem-black list pesawat dari negeriku. Burung Garuda mendapat lampu merah.
Membuat Menteri Goda Gado belingsatan seperti cacing kepanasan. Ratusan ribu jamaah haji akan ia gagalkan jika burung Garuda benar-benar tak diijinkan terbang ke Arab Saudi. Terang saja karena haji adalah area bisnis paling basah. Tak perlu keringat tapi uang akan melimpah. Begitulah barangkali. Karena hidup di negeriku sebagian besar diliputi oleh kata barangkali. Ah!
Lalu dalam keadaan seperti itu, menjadi pilot sama saja mimpi buruk. Tidak ada enaknya! O...aku mau jadi tentara saja. Oh...tidak! Aku tak mau jadi tentara. Dulu aku sering melihat mereka membunuhi mahasiswa. Entah mengapa, menyebut kata tentara saja bulu kudukku berdiri. Terang karena berita yang kudengar tentang mereka adalah yang jelek-jelek melulu. Mereka membunuh saudara sendiri di mana-mana. Bahkan baru-baru ini, di sebuah pelosok di Jawa Timur, beberapa tentara menyarangkan peluru dengan bangganya ke dada rakyat tak berdosa. Dan konyolnya lagi, itu disanggah sebagai pelanggaran berat hak azasi manusia. Sungguh malang hidup di negeri penuh ironi!
Maka kutukan itu menjelmalah. Aku memilih menjadi penyair. Seorang penyair datang ke sekolahku. Membaca puisi-puisinya. Aku tak sadar bahwa yang dibaca adalah imajinasi bukan cerita hidup sendiri. Dalam puisi itu aku dengar penyair menjadi Dewa Penyelamat. Penyair berpakansi bukan saja ke Eropa atau Amerika. Akan tetapi ke planet Mars bahkan ke surga sekaligus. Penyair tidak hanya bercinta dengan perempuan-perempuan tercantik di dunia. Melainkan dengan Dewi Venus dan bidadari surga sekalian. Penyair bisa bolak-balik ke Mekah tiap hari untuk haji. Kudengar mereka sering bergurau dengan Tuhan ketika malam menjadi kelam. Sungguh enaknya bukan main. Tapi ternyata tidak begitu! Dan itu kusadari setelah aku dikerangkeng dalam dunia penyair dan tak mungkin lari.
Kusadari semua hanya imaji belaka ketika aku sudah benar-benar gila. Semua orang bilang aku tidak waras. Aku terjangkit maniak depresi sangat akut, sindrom bipolar. Suasan hati tak menentu dan berubah-ubah, dari euforia berlebihan menjadi putus asa tak hingga. Aku menjadi sangat tertekan dengan setiap imajinasi dalam puisiku. Dan aku mulai berpikir untuk mengakhiri semuanya dengan bunuh diri. Mengikuti jejak seniman seperti, Vincent Van Gogh, Herman Melville, Edgar Allan Poe, dan Virginia Woolf, yang gagal berperang dengan dirinya kemudian mengakhiri hidup dengan tragis. Seluruh waktu dan tenagaku hampir habis terkuras mencari jalan paling damai menuju mati, selain tanpa henti berpuisi.
Bagiku puisi adalah darah yang jika berhenti mengalir berarti aku telah mati. Nasib sial sungguh! Dalam puisi-puisiku aku bahkan menginginkan mati. "Aku ingin mati, Tuhan/ tuk menemu Mu//mari... mari sudahi sandiwara/ tak tahan kuingin bermesra/ kita bersua//hangus mampus/ diriku padaMu tak berdaya//rapuh lepuh/ diriku padaMu hilang musnah.//"
Detik-detik dalam hidupku adalah sakaratulmaut. Prosesi menuju mati. Aku memesan peti mati dari kayu jati. Melihat ulahku, Ayah mengurungku dalam kamar. Benda-benda tajam dijauhkan dari jangkauanku. Jendela kaca diganti kayu kemudian dipaku dengan keras. Pintu kamar dikunci, digembok. Di kamarku aku nyaris tak berteman. Kecuali dengan spidol hitam, kertas lusuh, pensil yang tintanya mewangi, dan tentu saja bayanganku sendiri yang sering kuajak diskusi.
Maka setiap aku ekstasi untuk mati, tidak ada hal lain kulakukan kecuali menulis puisi. Dinding kamarku adalah sahabat paling setia yang pernah kutemui. Dia diam saja ketika tanganku gatal kemudian menulisi kulitnya yang putih bersih dengan spidol hitam. Yang kutulis bukan hanya puisi sendiri, tapi juga puisi orang-orang terkenal seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Khayyam.
"Di kamar ini pernah tinggal/ sebuah jiwa yang terus menyala.//Ditemani tawa-tawa palsu/ sambil tangan dan pena/ saling bersiasat untuk menulis apa saja/ di dindingnya;/ dinding tak jadi dicat merah!//"
"Kamar begini,/ 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!""barangkali hidup adalah/ doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras./ ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;/ ia pun bergegas.//
"Bangunlah, Cintaku, bangun! Fajar cerlang tiba/ Reguk anggur perlahan-lahan dan petik kecapi/ Tak ada nyawa yang abadi di tempat ini/ Di antara mereka yang pergi, tak seorang pun kembali//"
Aku lelah. Aku hilang arah. Aku frustasi. Aku ingin lekas mati.
*****
Jika aku bertemu Tuhan saat ini, maka yang pertama akan kulakukan adalah menciumNya. MemelukNya. Berterima kasih padaNya. Aku sungguh beruntung karena doaku Ia kabulkan. Doa yang tidak serius untuk menjadi penyair. Aku sungguh beruntung. Melebihi apa yang akan kucapai jika aku menjadi presiden, pilot, atau tentara. Anugerah apa pula yang paling berharga bagi lelaki kecuali istri cantik penuh cinta nan setia? Ahai...! Hanya satu perempuan yang sungguh menerima cintaku. Dan aku tak butuh lebih dari itu.
"Mas tahu aku cinta karena apa?" tanya teman wanitaku . "Karena aku kasihan Mas mau bunuh diri?" jawabku.
"Bukan itu. teman ku jawab ; jatuh cinta karena puisi-puisi Mas yang menyentuh hati dan menggetarkan jiwa," ucap Anjani tersenyum dan lesung pipitnya menggodaku seketika. "Mas dapat inspirasi dari mana?" lanjutnya lagi.
"Inspirasi tak cukup membuat seorang penyair melahirkan karya. Ia mesti punya motivasi."
teman wanita ku mengernyitkan dahi. Pandangnya yang serupa cahaya bening bintang kejora mengarah padaku. Ia menunggu lanjutan kalimatku.
"Hidup yang direnungkan adalah inspirasi terbesarku. Dan senyummu adalah motivasi yang paling nyata," terangku dengan mimik sangat serius. Di luar malam makin lelap.
Cinta membuat perang dunia kelihatan sederhana!***
Kairo, Buus Indah Permai; Jumat 11:40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar